Gadget Oh Gadget

Seperti biasa pagi gue dihiasi oleh suara merdu mama. Ya, suara yang terdengar jelas dari lantai dua ini. Mengaba-aba gue juga adik dan papa buat bersegera sarapan bersama di bawah. Selesai sarapan kita bertiga berpamitan. Papa naik motor bareng adik, dan gue naik sepeda kesayangan.

Hujan semalam membuat jalanan basah dan bau pepohonan terasa lebih segar pagi ini. Di jalan gue bertemu banyak anak sekolah lainnya. Ada yang naik bus kota, angkot, motor, mobil atau pun bus jemputan sekolah. Dan sampailah gue di sekolah tercinta ini. Sekolah Menengah Atas Jakarta. Lalu memarkirkan sepeda kesayangan gue dan berjalan melewati koridor menuju kelas. Kelas XII IPS 2. Memasuki kelas seorang teman menyapa gue.

"Pagi juga, Salman," Balas gue dan duduk di bangku gue. Sebelah Salman. Tapi tadi dia nyapa di depan pintu.

Di belakang gue dan Salman duduk Rere dan Sisi. Juga Rika di meja sebelah yang sekarang ikutan nimbrung duduk bertigaan di atas dua bangku yang dijadikan satu. "Haii.. Semua. Pagi," Sapa gue.
Gak ada jawaban.
"Assalamu alaykum, wahai ahli kubur!"
"Kok, ahli kubur sih, Dit?!" Respon Rika hendak menjawab salam beberapa saat kemudian, mengangkat wajah dari layar smartphone-nya.
"Abis kalian, asik banget main handphone, gue sapa gak dibalas. Kompak banget bertiga-tigaan. Tuh lihat, Sisi sama Rere mungkin gak sadar ada gue!"
"Sadar, kok!" Rere angkat suara.
"Hey Dita, morning. Baru sampai ya, aku gak lihat kamu masuknya," Sekarang Sisi buka suara.
Dan gue hanya merespon mereka dengan "hmm.." Lalu duduk menghadap papan tulis.
"O my..! Bias gue mau konser di Jakarta. Minggu ini! Kok gue baru tahu ya..?"
"Kan loe udah tahu, bahkan dari dua bulan sebelumnya, Sisi!" Sahut Rika yang bikin gue ikut menoleh ke belakang.
"Belum kumpulin uang buat nontonnya. Kok, gue bisa lupa, ya..? Huhuhu. Pokoknya harus nonton! Kapan lagi kan, lihat mereka perform langsung?!"
Sisi baru aja mau bersuara lagi tapi gak jadi karena pelajaran pertama akan dimulai. Bu Asri udah melangkahkan kakinya di kelas ini. Dan orang di samping gue memberi aba-aba buat semua anak berdiri dan memberi salam. Pagi ini gak baris di lapangan karena lapangan becek.

Udah jam pelajaran keempat, waktunya istirahat. Gue, Rere, Sisi dan Rika beriringan ke kantin. Lapar. Mau makan. Padahal gue tadi udah sarapan. Emang benar, kerja otak itu menyedot banyak energi. Kita berempat memesan makanan yang berbeda. Biasa. Biar bisa mencoba menu lain, kalo-kalo kecewa sama rasa makanan yang kita beli atau tiba-tiba berubah pikiran gak mau makan yang kita beli. Hahaha. Gue pesen pempek, Rere bakso bakwan, Sisi mie ayam, dan Rika siomay.

Sepuluh menit berlalu dan kami melewatinya seperti biasa. Makan yang diiringi obrolan santai sampai kritis. Dari cerita kalo lagi ngincer sesuatu sampai debat capres-cawapres. Di tengah cekikikan kita ada yang kurang, nih.
"Re, loe kenapa?" Tanya gue ke Rere yang berhenti makan dan fokus ke layar smartphone-nya.
Yang ditanya langsung menegakkan badan dan menatap, "enggak, kok. Gak apa-apa."
"Jangan bohong, loe!"
"Enggak apa-apa, beneran."
Rere tuh, biasanya yang paling suka ngomong banget di antara kita. Dia yang paling up to date sama hal-hal happening saat ini. Mendadak diem gitu kan, jadi ganjil. Tapi yaudahlah, berprasangka baik aja. Mungkin emang gak kenapa-napa.

Selesai makan di kantin semua siswa termasuk kami melangkah ke kelas. Belajar hingga jam pelajaran berakhir di pukul dua siang. Harusnya ada pendalaman materi tapi karena anak Bu Retno sakit, diganti menjadi hari sabtu pagi nanti.

Gue membawa sepeda gue ke depan gerbang. Waktu mau naik ke sepeda gue lihat Rere duduk di bangku koridor. Mungkin nungguin jemputan. Gue perhatiin ekspresi mukanya. Cemas gitu. Gue putusin buat nyamperin dia dan markir sepeda di ujung koridor.
"Loe belum balik, Dit?!" Tanya Rere kaget waktu gue samperin.
"Tadi gue bantuin Salman dulu bikin data kelas terus ke toilet. Loe sendiri kenapa masih di sekolah?"
"Nungguin jemputan." Jawabnya beberapa lama.
"Ah, yang bener?" Gue baru inget kalo Rere biasa naik Transjakarta.
"Jadi bener loe jadian sama Aldi?!"
"Ih apaan, sih, Dita?! Enggak. Aldi tuh, temen SD Rere waktu di Bandung terus baru pindah semester kemarin. Kebetulan rumahnya beda komplek doang sama Rere, Dita. Jadi dia ya, nyamperin Rere. Silaturahim. Kenapa sih, pada nyangkain gitu?! Sebel, deh. Cewek-cewek kelas dia juga. Nanya-nanya ke Rere kesukaan dia apa, suka nongkrong dimana, ulang tahunnya kapan. Emang Rere baby sitter-nya!"
Lha, si Rere malah curcol. Kan gue niat ngegoda doang.
"Jadi gak bener tuh, Re?" Gue lanjut aja godainnya.
"Enggak Dita. Rere itu maunya nikah bukan pacaran. Tapi nanti. Rere udah pernah cerita, kan?"
"Jadi kalo Aldi lamar, diterima?"
"Ih Dita, ya!" Rere nyubit lengan gue.
Gue mengaduh.
"Oke-oke. Gue tahu. Terus nungguin jemputan siapa, malaikat Izroil?"
"Ih si Dita, ngomong gak diayak dulu. Gak disaring dulu. Kalo artikel itu di-editnya abis-abisan. Rere masih banyak dosa, tahu! Takut mati."
"Katanya gak mau pacaran, tapi nungguin jemputan. Siapa yang mau jemput Rere? Bapak kan kerja. Nyokap ngurusin katering makan siang orang-orang kantor. Loe back-street ya.. Sama siapa, hayo??"
"Boro-boro ah backstreet, Dita kan tahu, nahan pipis aja Rere gak kuat. Apalagi itu drama-dramaan. Kucing-kucingan."
"Terus...?" Gue mendekatkan diri ke posisi Rere dan menatap matanya.
Rere menghindari tatapan gue.
Beberapa menit kemudian, "iya-iya. Rere ngaku. Rere gak berani pulang, Dit."
"Kenapa?" Gue heran dong, Rere yang tipe anak rumahan gak mau pulang.
"Takut."
"Iya, Dita juga tahu kalo gak berani namanya takut."
Rere terdiam.
"Yuk, buruan!" Gue meminta Rere buat berdiri di belakang gue. Dibonceng.
Gue dan Rere menuju tempat Bang Boim, kedai es buah kesukaan gue. Siang-siang gini paling asik kan, nge-es. Dan gue rasa Rere akan lebih relax di sana.

"Nah, Rere sekarang cerita aja ke Dita. Kenapa takut balik? Kan malah biasanya loe yang selalu ngingetin temen-temen pulang tepat waktu," Gue membuka pembicaraan setelah memesan dua porsi es buah dan mengambil tempat duduk.
Rere menghadapkan wajah ke luar kedai, "Rere tuh takut, Dit."
Iya, gue tahu. Tadi gue denger loe takut. Gak berani. Tapi kenapa, Rere?? Kata gue dalam hati. Pengen banget jitak temen satu ini.
"Rere tuh, takut pulang karena nanti mamah pasti marah-marah."
"Marah kena..pa?" Tanya gue beberapa saat yang dipotong Rere.
"Dita dengerin dulu Rere cerita. Belom abis."
"Lagian iklannya lama banget." Celetuk gue pelan.
"Nih, Dit." Rere menyodorkan handphone-nya ke gue.

Bang Boim dateng bawa dua mangkok es buah yang seger dan menggoda itu.
"Makasih, bang," Jawab Rere.
Gue masih asik memperhatikan layar hape Rere. Ada foto dan chat yang minta Rere langsung balik. Kocak juga. Yang ngirim mamanya. Ya, menurut gue nyokapnya gak perlu nyuruh dia balik cepet karena emang doi bakal pulang seperti biasa. Gak suka kelayaban kemana-kemana. Kecuali emang dipaksa. Itu pun dia pasti juga bunyi. Berisik. Ayo guys, balik.
"Itu foto pengeluaran loe bulan ini, Re?" Tanya gue yang dijawab anggukan Rere.

Wajar sih, nyokapnya marah. Gila aja, dalam sebulan dia belasan kali belanja online. Pantes, barang yang dia pake akhir-akhir ini baru terus. Suatu yang di luar kebiasaan Rere banget. Rere bisa dibilang anak sultan, dengan omzet katering nyokap yang melangit dan penghasilan bulanan bokapnya. Tapi Rere pribadi yang sederhana. Gak suka pamer. Karena buat dia gak ada yang mesti dipamerin. Emangnya griya seni?! Hahaha.

Dari ceritanya Rere gue paham juga gimana jalan pikiran dia dan maunya. dia belanja beberapa baju, bisa dibilang banyak baju. Branded semua, cing! Terus sepatu, tools buat di kamar, kayak lampu belajar, lampu tumblr, wallpaper, lilin aromaterapi. Boneka. Gue juga gak setuju banget sih, sama apa yang dia lakuin. Tapi gak bersebrangan juga sama dia. Netral. Cause i can feel it. Khilaf aja kali dia. Secara ATM-nya berisi tapi gak pernah dipake. Maklum juga nyokapnya over protektif dan agak irit. Wkwkwk.
Selesai makan gue anter Rere sampai depan kompleks rumahnya. Tadi abis selesai makan sop buah dan nonton video lucu juga puas mengutarakan opininya, Rere memutuskan buat ngadepin mamahnya. Tanggung jawab sama apa yang udah dia perbuat. Cakep. Gue harap orang tua dia bisa paham dan bisa kasih sedikit kelonggaran. Rere lagian khilaf-nya mantap jiwa!

*****

Jam istirahat tiba, hampir semua anak berlarian menyerbu kantin sekolah. termasuk gue, Rere, dan Sisi. kita duduk manis di bangku kantin dengan menu masing-masing.
"Rika mana?"
"tadi katanya mau ke toilet dulu."
"terus gak dipesenin apa-apa nih, dia?"
"tadi dia bilang, gak usah. malah plus nge-chat gue, nih." kata Sisi menunjukkan hape-nya ke gue dan Rere.

Waktu istirahat masih lima menit lagi. selesai makan, kami berjalan menuju kelas. Di tengah perjalanan Sisi izin ke toilet dulu, gue dan Rere pun duluan.
"Dita tahu, gak?"
"Enggaklah. Kan belum dikasih tahu."
"Rere kemarin disidang mama!"
"Oh ya?! keren tuh, udah kayak di tv-tv. Jadi akhirannya gimana, ortu maafin kan?"
Yang ditanya diam sebentar. Memasang ekspresi yang mengundang rasa ingin tahu orang lain. Menaikkan sebelah alisnya.
"Begitu, deh. Rere diinterogasi. Pas pulang ternyata papa udah balik, Dit. Rere kumpulin tuh, semua keberanian. Ceritain aja semuanya apa adanya. Kayak yang kita omongin kemarin. Mamah kan, beberin semua tuh bukti belanja online Rere plus barang-barangnya, Dit! Bisa bayangin kayak apa tuh, kan. Seru. Abis itu bagian nasihat. Dan keputusan."
"Apa tuh, keputusannya?"
"Hakim papa memutuskan kalo uang jajan dipotong setengah. Dan harus kerja part time di kateringnya mama. Mulai Minggu depan," Cerita Rere panjang kali lebar dengan nada netral.
"Loe sendiri gimana?"
"Gak bisa nolaklah Dit, mama disitu. Wkwkwk. Dan yang lebih pasti sih, Rere sadar belasan juta buat belanja tuh, gila! Belanja macam Rere kemarin. Yaudah. Terima aja. Kesel sih. Kesannya masa sama anak sendiri begitu ya, bukan maafin aja."
"Maunya itu mah.."
"Pastilah." Rere dan gue ketawa bareng.

Hingga dua jam pelajaran terakhir Sisi dan Rika belum juga balik ke kelas. Mereka kemana ya? Sisi sama Rika dihubungin gak bales. Hape Sisi dititip ke Rere. Sampai akhirnya gue tanya orang yang duduk di sebelah gue, si ketua kelas. Dan dia tahu ternyata. Sisi nganter Rere pulang katanya. Tadi dia sempet ke toilet dan ketemu di koridor. Yaa salam.
Dan di jam pelajaran tambahan Sisi baru hadir lagi.
"Gimana Rika?" Tanya gue dan Rere kompak.
"Lagi istirahat."
"Dia kenapa?"
"Gimana ya, jelasinnya?!"
"Tinggal bicara, Sisi!" Rere nge-gas.
"Oke-oke. Santai. Pas gue ke toilet tadi pas mau masuk, Rika keluar tuh. Dari toilet. Mukanya pucat. Keliatan banget dia pusing banget dan kayaknya abis muntah, deh."
"Muntah. Pusing. Jangan-jangan dia..."
"Apa?" Gue dan Sisi kompak.
"Masuk angin."
"Yeee..."
"Habis apa, dong? Yang paling mungkin kan, itu. Hayooo kalian mikir apa?"
"Kali loe tahu detailnya. Terus Si, gimana kelanjutannya?"
"Gue samperin. Eh dia malah jatuh ke pundak gue. Bilang sakit kepala. Yaudah gue bawa ke UKS. Di sana tiduran. Ternyata pingsan. Kan gue tinggal dulu tuh ya, pipis. Kan tadi belum. Habis itu nunggu dia siuman yang lama. Pas sadar, dia minta dianter pulang. Pulang deh, dianter Pak Panji sama Bu Lia. Oiya, sempet ketemu juga sama Salman di koridor.
"Sampe rumahnya, di sambut nyokapnya. Nyokapnya lagi ngejahit pakaian pesanan orang tenyata. Terus, gue dan Bu Lia nganterin si Rika ke kamarnya kan, tuh. Gue tadinya mau ikut rebahan lebih lama di sampingnya. Udah merem-merem, tuh. Eh, Bu Lia nyuruh balik ke sekolah."
"Ya iyalah, Sisi. Emang kamu mau ketinggalan persiapan UN kita. Ntar gak lulus, loh."
"Kalo gak lulus pastinya gak maulah, Re. Tapi kalo gak ikut PM-nya mau. Tapi lebih mau liat perform grup K-Pop kesayangan gue. Sabtu ini. Anak kelas sebelah masa banyak yang nonton nanti," Sisi jadi curhat.
"Hei, kalian berdua dengerin aku gak, sih?" Tanya Sisi dari belakang gue dan Rere karena kita gak menghadap belakang.
"Iya.."
"Eh btw Si, loe bukannya udah ngumpulin duit jauh-jauh hari buat persiapan liat konser oppa-oppa loe itu?" Gue balik badan.
"Iya dari tahun lalu, tapi bulan kemarin gue beliin merchandise exclusive mereka. Jadi pengen jual aja."
"Lagian, Sisi juga!" Celetuk Rere

"Hei, kalian sore ini, apa kegiatannya?" Tanya sisi saat bubaran kelas.
"Work out, kuy! Nge-gym."
"Gimana, ya?"
"Kebeneran gue dapet voucher nih. Ada 3. Masing-masing satu jam, sih. Tapi lumayan kan, nyobain nge-gym di tempat ini." Sisi nunjukin e-voucher ke gue dan Rere. Dia dapetin itu dari kuis di IG.
"Padahal gue pengennya menang tiket nonton oppa."
"Ah Sisi, udah yuk, jalan. Tapi pulang dulu, ya."
"Ya, janganlah, Re. Kelamaan."
"Lha terus, bajunya gimana?" Tanya gue.
"Tenang gue udah bawa. Tadi gue rampok lemari Rika. Ternyata dia punya celana training banyak. Wkwkwk. Dan gue ambil juga kaosnya."
"Wah bakat terpendam," Gue geleng-geleng kepala. "Bahaya nih, Sisi."
"Gue udah izin ya, sama Rika. Dan dia ngebolehin. Kuy ah, mumpung masih jam 3."

Sampailah kita di tempat nge-gym. Tempat yang lagi hits banget, nih. Banyak di post sama selebgram. Dan ternyata cabangnya ada dekat rumah kita. Sampai di dalam, Sisi yang hobi olahraga ini berperan jadi trainer kita. Dari mulai pemanasan sampai nyobain semua alat yang ada di tempat nge-gym ini. Sampai akhirnya di menit ke 58, orang yang familiar banget dan komandan di kelas nyamperin kita. Dia ngasih tahu kalo Rika ada di ujung sana. Dengan kondisi yang kurang baik.
"Masa sih, Sal? Kan tadi gue sendiri yang anter dia ke rumah bareng Pak Panji sama Bu Lia. Masa sekarang ada di sini? Ngapain?"
"Ya, gak tahu gue jelasnya. Yang pasti dia ke sini bukan mau liat konser K-pop. Coba deh, kalian tengok. Soalnya gue juga kaget ada cewek pingsan, eh hampir pingsan deket treadmill yang mau gue pake. Eh ternyata, Rika. Terus gue tadi sempet lihat Dita, makanya gue cari-cari, deh. Alhamdulillah, ketemu."

Kita berempat pun bergegas ke tempat Rika berada. Di sana Rika bersandar ke punggung kursi. Tubuhnya terlihat lemas dan wajahnya pucat.
"Rik, loe kenapa?" Tanya gue yang hanya dijawab senyuman sama dia.
"Kita tuh, butuh penjelasan, kata-kata, penjabaran, soal loe kenapa nih? Bisa begini, impossible gak ada apa-apa."
"Rika akhir-akhir ini sering ke sini. Sebulanan ini gue sering lihat dia. Tapi dia gak lihat gue." Salman angkat suara.
"Iya?" Tanya Sisi ke Rika yang dijawab anggukan.
"Gak ngajak-ngajak loe, olahraga sendirian aja, kurang motivasi kan loe, jadinya."
"Gue malah ngerasa dia kelebihan motivasi."
"Sok tahu deh, Salman!" Imbuh Rere.
"Loe cek IG-nya dia, dong!"
"Hah, kenapa emang?"
"Tuh kan, keliatannya aja deket. Katanya sahabat, buka hape mulu, masa gak tahu?"
"Ya ampun, Rik! Ini beneran?" Tanya gue kaget. Yang langsung dikerumuni Rere dan Sisi.
"Komen-komennya jahat banget. Ampe puluhan gini. Gak cuma di lima atau enam postingan tapi belasan." Kata gue.

Otak gue mencoba menyinkronkan semua fakta yang ada. Jadi Rika ikut ngalamin body shaming!? Dari awal kelas 12 kemarin Rika mulai sering jadi foto model. Entah untuk endorse ataupun majalah remaja. Dia juga udah mulai self-branding di akun medsos-nya. Beberapa minggu terakhir gue liat Rika sering liat model-model luar negeri, yang menurut gue tubuhnya tuh, mungil bangeet, gitu. Bisa ya, ada orang kayak gitu?! Bisa, ciptaan Tuhan. Lanjut, dan dia juga suka liat tutorial buat dapetin tubuh ideal gitu. Gue tahu soalnya pernah liat dia buka Youtube dan pinjem hape-nya buat nonton vlog. Satu hal yang gue takutin adalah yang dia ketemu Sisi di toilet, yang bilang dia abis muntah. Gue takut dia kena eating-disorder. Itu, yang suka muntahin makanan yang abis dia makan. Rika juga sering ke toilet abis kita dari kantin beberapa minggu terakhir. Gue harap itu hal yang normal. Cuma kebelet gitu ya, kan.

Kita pun pergi berempat buat makan. Disana Rika nyeritain semuanya. Bener aja. Dia ngelakuin eating-disorder. Dan ngalamin body shaming. Komentar-komentar netizen tuh, gak diayak dulu. Dibilang badannya gak ideal deh, buat jadi model majalah remaja itu. Warna kulitnya terlalu gelap. Kata-katanya kasar, deh. Apalagi yang pas Rika jadi model salah satu brand lokal yang udah mendunia. Padahal satu foto, doang. Gak kebayang deh, gue punya haters. Dan kita minta maaf, karena sebagai temen belum bisa maksimal perhatian dan bantu dia.

"Tapi, gue udah sadar kok, itu semua gak baik. Eating-disorder, body shaming. Nyakitin diri sendiri aja. Semangat belajar jadi turun, berat badan turun, kesehatan juga turun. Depresi gue yang ada. Padahal sebelumnya gue bahagia-bahagia aja sama kalian. Cuma, karena terlalu fokus sama dunia maya dan komen netizen serta standar-standar yang gak jelas itu, gue jadi gini padahal baru juga anak SMA, ya. Masih muda banget. Kemarin-kemarin gue banyak baca artikel soal ini, sempet konsultasi juga sama psikolog online dan dapet banyak banget pencerahan. Cuma gue butuh kalian buat dukung gue dan ngingetin gue kalo gue belok lagi, ya. Hehehhe."
"Ashiiiapp!" Kompakan kita jawab.
"Wei, guys! Punya gue mana, nih?" Tanya Salman yang baru sampai ke tempat makan. Tadi dia titip katanya bakal nyusul.
"Kalian ada rencana apa weekend ini?"
"Besok PM-kan sama bu Retno, Sabtu pagi?" Sahut Rere.
"Dan konser oppa.."
"Apaan sih, Si? Masih Minggu depan! Tuh, liat!" Kata gue menyodorkan layar hape ke Sisi.
"Eh, iya sih? Eh ini kok, selamat kamu mendapatkan tiket nonton gratis super world tour buat dua orang..?! Haaa..  Dita..! Dita..! Harus ajak gue! Ajak gue ya.." Kata Sisi histeris seneng sekaligus iri dan pasang muka melas.
"Gimana, ya..?" Gue sok-sok mikir. Emang sih, niat gue ikutan kuis itu biar dapet tiket buat Sisi. Gue ceritain aja soal temen gue yang suka grup itu dan pengen banget kasih dia tiket waktu ditanya alasan kenapa gue pantes dapetin tiket. Alhamdulillah, pengumumannya hari ini dan menang. 

"Oke.." Gue sok jual mahal, "tapi loe harus mau jual merchandise-nya!"
"Lha..lha.. Kok gitu?!"
"Laa laa.. Laa nahtajul maala kay nazdad jamala.." Salman, Rere dan Rika kompakan nyanyi.
"Iya, biarin. Itu imbalannya. Mau merchandise atau tiket konser..?
"Ya, gak apa-apa sih, kagum gitu, ya. Tapi sadar gak, loe tuh sempet puasa jajan gitu kan, fakir buat mereka doang, yang ujung-ujungnya minta jajanan kita. Mau dibeliin bilangnya gak usah. Tengsin. Eh, tahunya kebeli merchandise aja, gak ketemu langsung. Lagian gak ada ongkos dan jajan nih, buat lihat konsernya." Gue nyengir dan naik-naikin alis.
Sisi diam sejenak, "oke, tapi loe juga harus berhenti stalking akunnya ataupun kabarnya Sandi."
Sekarang jadi gue yang diam.
"Setuju." Jawab Rere, Rika, Salman kompakan.
"Iya, gue sering liat loe tuh, masih stalking-stalking soal dia kalo di kelas. Itu di kelas, gak tahu deh, kalo di rumah." Salman buka suara.
Sandi mantan gue. Tapi gue belum bisa move on. Dia pindah buat nerusin studinya ke luar negeri. LDR, deh. Kalo jadi. Ternyata dia mutusin gue. Katanya takut ganggu konsentrasi studi dia. Rindu itu berat. Entahlah. Dan bodo amat dari kemarin.

"Oke, deal!"
"Eiya, kalian ikut gue yuk, ke Lembang. Ke tempat mamang gue. Udah lama kan, gak berkegiatan outdoor. Bosen kali main gadget mulu. Refreshing. Kita pulang Minggu sore."
"Itu Bu Retno, gimana?" Tanya Rere yang antusias mau ikut.
"Sisi sih, motong tadi, gue belom kelar jelasin," Kata Salman ke Sisi yang masih mesem-mesem mandangin DM IG gue.
"Bu Retno gak bisa ngisi materi. Tapi beliau kirim kok, materinya ke gue tadi buat kita pelajarin."
"Wih, asik tuh, kan enak belajar di alam terbuka. Maksudnya bisalah baca-baca dikit gitu. Apalagi loe kan jago nih, Biologi, Sal. Ajarin kita, ya." Kata Rika yang bertekad mengejar ketertinggalan.
"Oke, pada setuju nih, ya?"
Kita berempat ngangguk.
"Berarti abis ini, siap-siap."
"Salman, gila ya? Masa sekarang?!"
"Kan baliknya Minggu sore."
"Rere takut gak diizinin."
"Gue yang izin," Kata Salman, "tapi temenin."
"Oke, sama gue."
"Asik, Dita mau izinin Rere bareng Salman." Soalnya ortu Rere udah kenal Dita dan percaya. Juga Salman si juara umum dua tahun berturut-turut. Jadi ortu Rere kenal.
"Berarti, gue ke rumah Dita dulu, ya. Loe Re, siap-siap di rumah. Terus Rika sama Sisi juga siap-siap dan tunggu depan Rumah."
"Loe sendiri?"
"Gue udah siap, dong! Selow. Tinggal berangkat."
"Niat banget, Sal?"
"Emang, udah dari Minggu kemarin mamang minta gue ke sana. Dan pas bangetnya, tadi pulang sekolah Bu Retno chat gue. Udah gue forward juga kok, ke grup. Loe pada aja yang gak liat. Huuu.. Dan kebetulan ketemu kalian, spontan aja sih, ngajak. Lebih seru kalo rame-rame kan? Gue jamin deh, kalian gak bakal nyesel ikut gue. Jabatan ketua tarohannya," Ujar Salman lalu memasukan suapan terakhir makanannya.
"Bilang aja, sendirian berasa jomblonya.. Wkwkwk." Celetuk Sisi.
"Lagian gak ada yang mau gantiin loe jadi ketua kelas, Sal."

Setelah selesai makan, kita semua bergegas ke rumah masing-masing. Gue bareng Salman. Sampai di rumah ternyata Salman yang jelasin ke mama dan minta izin. Berasa gimana gitu, lihatnya. Gak salah emang kepilih jadi ketua kelas dia. Kemarin di kelas sebelas malah jadi ketua OSIS juga. Dan ajaibnya mama langsung bilang iya. Wow. Biasanya mama bakal pikir-pikir lama dulu. Dan malah ajak si adek diskusi. Wkwkwk. Biasanya gue langsung bilang papa. Dan otomatis mama setuju.

Next stop adalah rumah Rere. Seperti tadi di rumah gue, Salman menjelaskan  tujuan kita dan minta izin. Nah, di bagian ini gue beraksi. Menyambung-nyambungkan dengan ulah Rere kemarin. Gue bilang, agaknya Rere butuh suasana baru. Dan voila! Mama Rere setuju dan langsung telpon papanya yang lagi otw pulang. Selanjutnya jemput Rika. Dan ternyata Sisi udah ada di sana. Dia yang bantu izin Rika. Karena dengan kondisi kesehatannya sekarang mamanya pasti khawatir biarin dia pergi.

And it is time to go...
Perjalanan ke Lembang lumayan membuat kebas pantat kita. Dua setengah jam perjalanan.
"Eh btw, loe emang udah punya SIM?" tanya Sisi.
Dengan senyum seribu watt Salman mengeluarkan selembar surat yang menyatakan kalo dia diizinkan berkendara. Bangga.
"Kok, bisa?"
"Bisa dong, Si. Lulus uji gitu, loh. No sogok-sogok."

Jam menunjukkan pukul 21.30 dan Salman ngebangunin kita semua. Sejak memasuki tiga puluh menit perjalanan suasana sedikit demi sedikit hening dan tinggalah Salman seorang yang terjaga.
"Bangun-bangun, bangun, woy! Dah sampe. Kalo gak bangun gue kunciin loe dari luar. Ngajak biar ada temen ngobrol malah ditinggal mati. Mati sementara. Hehehe."

Suasana kelewat sejuk alias dingin banget langsung menyapa kulit wajah kita waktu keluar mobil. Di beranda rumah sang pemilik menyambut kami dan mempersilahkan masuk. Langsung ditunjukkin kamar. Dan dibuatin minuman hangat.
"Salman gak pernah ajak pacarnya kesini. Sekalinya bawa, langsung empat ya, bu." Canda Mamang Asep di ruang tengah.
"Hahaha.. Bisa aja mamang. Ini tuh calon-calon karyawan buat di sini, mang. Yang dua soal nyuci-nyucian jago. Dari piring, baju, sampe kandang mbe, rumah juga pernah dicuci. Yang dua lagi bisa buat jaga stand mang, mereka awas banget matanya buat jaga-jaga. Apalagi jagain hati.. Hahaha"
"Garing, gaje!" Balas kita kompakan.
"Udah-udah. Salman nih, bikin snewen aja! Yuk, anak-anak ke kamar aja. Pasti capek kan, perjalanan jauh."
"Apa yang capek, bi? Sepanjang jalan tidur."
"Bilang aja kamu iri!"
"Iya. Hahaha."
"Ayo Salman kita lanjutin yang kemarin, kamu belum ngantuk, kan?" Mamang dan Salman duduk di ruang tengah yang hangat dengan penghangat ruangan. Berdiskusi.

Setengah jam di dalam kamar, kami belum juga terlelap. Karena tidur selama perjalanan, nih. Kami pun berinisiatif untuk bergabung ke ruang tengah. Ikut berbincang bersama Salman dan mamang. Bibi udah tidur. Mamang bercerita banyak. Tentang dia, keluarganya, dan usaha pariwisata di Lembang ini yang tengah beliau rintis. Anak beliau tengah menempuh pendidikan di IPB dan UI jadi gak tinggal bareng. Karena salman suka biologi dan  mamang punya kebun di sini, jadi cocok banget keduanya colab. Usaha pariwisata Mamang Asep menawarkan sensasi sejuk pegunungan dengan pengalaman berkebun dan memetik buah sendiri dari pohonnya. Dan makanan olahan dari buah-buahan yang ditanam. Mamang ngajak kita ke halaman belakang, kita bakar-bakar. Semuanya udah disiapin. Lanjut cerita, mamang cerita rahasia Salman. Ternyata dia takut balon. Kompakan kita ketawa. Soalnya waktu kecil pernah dikasih kejutan tengah malam sama kakak-kakaknya bawa balon banyak banget terus pada pecah. Seneng aja gitu tahu kekurangan orang yang tercap super pinter, jadi bisa mikir dia tuh, juga manusia biasa. Hehe.

Gak terasa jam nunjukin pukul dua pagi. Mamang ngajak kita tahajud. Gak di kamar. Tapi di teras belakang. Semua bekas bakar-bakar udah diberesin. Dan rasanya adem banget. Sholat malem dimana yang ada di depan kita pemandangan alam indah dengan cahaya dari lampu-lampu rumah warga. Bersih. Abis sholat kita tidur. Bangun lagi jam lima. Dilanjut subuh berjamaah. Abis subuh tuh, rasanya mau lanjutin bobo cantiknya, tapi gak jadi karena Salman berisik banget gedor-gedor ngajakin belajar materi yang dikirim Bu Retno. Sebel banget. Tapi Rika ngingetin, kalo itu baik dan manfaatnya buat kita juga. Salman juga bilang, "maaf ya, bukannya gue mau gangguin jam bobo kalian, nih. Cuma biar kesananya kita enak. Belajar udah, jadi santai."

Selesai belajar langit makin terang. Sekarang pukul 7 pagi. Bibi dan mamang ngajak kita sarapan bareng. Setelah itu kita bantu bibi beres-beres, mandi, rebahan. Dan pintu kamar diketuk lagi. Itu bukan suara Salman tapi bibi.
"Udah ditungguin mamang tuh, di mobil."
Bergegaslah kita nyamperin mamang dan Salman.

Mobil melaju selama 5 menit. Kami turun di sebuah kebun yang cukup luas. Kebun buah-buahan dan sayur-mayur. Mamang mengajak kami mengganti alas kaki, memakai sarung tangan, dan masker. Lalu mengambil tiga keranjang besar. Gue satu keranjang sama Rere. Rika bareng Sisi, dan mamang bareng Salman. Mamang minta kita buat metikin buah-buahan yang udah ranum. Ada strowberi, anggur, mangga, alpukat, kiwi, sawo, tomat, selada air, sawi, jagung, wortel dan cabai. Waktu memanen selesai saat adzan dzuhur berkumandang. Itu pun sebelumnya sudah dipetik lebih dulu oleh Pak Tarjo dan Bu Asih. Orang yang merawat kebun mamang ini. Biasanya mereka berdua juga dibantu oleh kelima anaknya. Selesai sholat dzuhur kita lanjut motongin rumput yang ada di sisi kebun mamang, masih tanah miliknya. Katanya, rumput ini mau dikasih ke peternakan. Lumayan lama juga kami membabat rumput. Sekitar enam puluh lima menit. Bertiga belas. Ditambah Pak Tarjo dan keluarga. Rame. Dan jadinya seru. Lalu kami makan siang bersama. Semua yang menyiapkan Bu Asih. Mamang yang meminta. Kami makan dengan lauk yang nikmat sekali. Ada sambal, sayur asem, ikan asin, dan kerupuk. Sederhana. Tapi kali ini rasanya beda. Makan di saung tengah kebun dan langsung menghadap gunung. Efek lapar juga sih. Lebih tepatnya. Hahahaha. Selesai makan, kami memisahkan buah dan sayur juga rumput yang akan dibawa ke mobil. Sebelum pergi, Bu Asih membawakan tiga belas gelas jus buah. Ada macam-macam rasa. Seperti buah yang kami petik tadi. Lebih banyak rasa mangga, sih. Dan gue pilih yang kiwi, Rere mangga, Sisi strawberi, Rika tomat, dan Salman alpukat. Mantap jiwa. Rasanya segar banget. Beda aja gitu sama yang biasa kita beli. Alhamdulillah.

Senja begitu lembut menyapa. Mega jingganya masih bertengger di langit. Dan gue juga kawan-kawan tengah duduk di gazebo belakang. Abis sholat maghrib. Bibi lagi nyiapin makan malam, tapi nolak kami bantu. Salman juga belum nongol. Jadi berempatan aja, deh.
"Weih, Si, bengong aja! Ngapa, deh?" Kata gue ke Sisi yang duduk bersebrangan.
"Gue inget anak-anak yang tadi, loh. Di 'Sekolah Kita'. Gue malu jadinya."
"Ngapa malu?"
"Mereka tadi lagi belajar tentang Indonesia. Mereka tahu nama-nama pulaunya. Nama-nama pahlawannya. Kebudayaannya. Sampai nama-nama menteri sekarang yang lagi menjabat, mereka up to date, loh. Lah, gue kalah sama anak SD?! Tahunya idola gue aja. Yang diluar negeri. Terus pas objek-objek wisatanya juga mereka tahu. Padahal tuh, anak-anak gak pegang gadget tiap hari kayak gue. Sekolah juga banyakan gue dalam seminggu."
Tadi setelah dari peternakan mamang diberi banyak botol susu oleh pemiliknya. Nah, susu itu gak mamang simpen buat sendiri atau dijual tapi dibawa lagi buat dibagi-bagi ke anak-anak kampung yang lagi belajar. Mereka belajar tiap tiga hari dalam seminggu. Jumat, Sabtu, dan Minggu. Para pengajarnya adalah anak-anak mahasiswa. Saat kami ke sana mereka sedang ada kuis di kelasnya. Namanya Kuis Aku Indonesia. Seperti yang Sisi bilang tadi, mereka habisin semua pertanyaan itu. Walaupun ada yang gak bisa jawab pasti ada aja kelompok lain yang jawab.

"Kalo Rere, seneng pas kita di kebun tadi. Metik-metik tanaman. Eh panen buah, ya, sama sayur. Berasa gitu kekeluargaannya. Maklum Rere jomblo di rumah. Ckckck. Gak mesti mewah untuk bahagia. Gak mesti makanan enak juga buat senyum. Apalagi barang-barang branded yang Rere beli akhir-akhir ini. Intinya bersama."

"Kalo gue, yang paling berkesan pas bagi-bagiin hasil panen tadi ke warga. Sempat kan tuh, sesudah dari sekolah itu. Lihat muka-muka berseri dapet hadiah buah dan sayur. Mereka mungkin lebih sering lapar daripada gue. Tapi tetap harus bekerja keras. Nah gue, kemarin nyiksa diri ngeluarin makanan gang udah masuk. Padahal masih banyak orang yang gak seberuntung gue bisa makan tiap hari. Terus liat anak-anak pada main bareng. Ceria. Ketawa-ketawa. Sempit aja gitu dunia gue kayaknya, kalo cuma mikirin standar kecantikan atas dasar fisik dan komentar orang lain. Padahal yang penting itu bahagia." Rika tersenyum.

"Iya, gue juga. Gak nyesel ikut si 'ketua dingin', jadi bisa main di alam. Bebasin pikiran. Main-main tanah lagi. Liat lebih luas kehidupan lagi bahwa bumi tuh, gak berputar dengan ada loe aja di dalamnya. Coba kita mau liat sekitar, gak bakal deh susah move on."
"Ciahahaha.." Yang lain ngetawain gue.

"Guys, ajak-ajak gue ya, kalo kalian ikut kegiatan-kegiatan lain selain main gadget.." Sisi buka suara lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Rere di sampingnya.
"Iya, Rere juga, ya. Ajak-ajak. Jomblo, nih. Biar gak kayak katak dalam tempurung. Terus ingetin kalo mulai khilaf lagi."
"Jangan biarin gue ya, guys, lakuin kesalahan yang sama apalagi lebih fatal." Rika ikutan mendekat.
"Kalo Dita..?"
"Hehehe.. Iya, kita harus buat jadwal puasa gadget nih, dan saling cerita. Juga ikutan kegiatan yang banyak kasih manfaat buat diri sendiri dan orang lain." Terus kita berpelukan gitu deh, kayak Teletubies.
"Mau juga dong, dipeluk." Salman tiba-tiba muncul dan duduk di belakang kita.
"Sejak kapan Salman di situ?"
"Dari awal Sisi ngomong. Hahaha."
"Terus kalo Salman sendiri, gimana?"
"Gimana apanya?"
"Yang kayak kita tadi, loh."
"Oh, hikmah? Apa, ya? Jadi ngerubah mindset gue. Kalo cewek-cewek tuh gak cuma bisa selfie dan rese aja."
Kita berempat natap Salman snewen.
"Hahaha. Tadinya. Cuma sekarang enggak kok, gue seneng punya temen kayak kalian. Mau gitu ke kebun, ke kampung, gotong-gotong keranjang, dan akhirnya ngerasain apa yang gue rasa."
"Maksudnya?"
"Awalnya gue gadget freak banget. Sampai akhirnya gue pas libur semester kemarin habisin disini dan gue sadar, gadget kayak ngambil semua kehidupan. Loe pasti pahamlah, there is no time without gadget. Tapi quality time buat di alam gini perlu juga, kan? Dan gue jadi gak alone lagi. Kan ada temen-temen kayak kalian gini." Tutup Salman dengan senyuman tersungging di ujung bibirnya.
"Besok kita kayak tadi lagi, kan?" Tanya Sisi antusias.
"Enggak, dong," Jawab mamang yang datang dari dalam.
"Emang mau lelah-letih-lunglai lagi? Besok kita having fun. Ke tempat wisata, oke? Kan ada bos, nih. Ulang tahun, dia. Traktir, oke bos?" Mamang memegang bahu Salman.
"Loh kok, jadi traktir? Kemarin gak bilang gitu."
"Sensi gitu deh, kalo soal duit."
"Hahahaha..,"
"Ketua tuh, harus loyal."
"Tapi gak pegang duit buat traktir kali..."
"Ayo anak-anak, pak, kita makan dulu." Bibi menengahi perbincakapan tak berkesudahan kami.

Komentar