Bullying is Not Cool


Buk!! Aduh..!

Ini kali kedua ia menabrakku sambil berlari dengan isak tangis tanpa mengucap maaf. Dan kulihat di ujung lorong sana, Sahara dan kawan-kawannya tertawa puas. Sering aku melihat pem-bully-an, hampir tiap hari. Pelakunya tak lain adalah Sahara dkk. Hanya karena ayahnya termasuk orang terkaya dan salah satu pemilik yayasan tempat kami bersekolah, ia merasa bak ratu di sekolah ini. Kami hanya rakyat jelata di matanya. Mungkin kawan-kawannya itu lebih pantas disebut dayang-dayangnya. Ia selalu bertindak sewenang-wenang, tapi yang paling aku tidak sukai adalah ia membully Lula.

Ia memanggilnya dengan sebutan “lupan” kepanjangan dari Lula panda. Aku tak tahu pasti kenapa mereka menjulukinya itu. Mereka bilang karena badannya besar seperti panda dan matanya yang sipit seperti orang Cina, dan panda berasal dari Cina, bukan?

Lula merupakan siswa yang mendapat beasiswa di sekolah ini. Nilainya memang tidak begitu tinggi, namun pengabdian ibunya sebagai petugas kebersihan sekolah yang membuat ia mendapatkannya. Ayahnya pergi entah kemana. Sejak ia SD, ia hanya tinggal berdua bersama ibunya yang bekerja di sekolah ini. Ia juga termasuk anak yang sabar dan rajin membantu ibunya. Setiap pagi, ia yang membersihkan ruang-ruang kelas.

Awalnya semua baik-baik saja. Namun berubah sejak satu bulan lalu, di School Star.

****

“…….. someone like you .. I wish nothing but the best for you … too I remember ….”

Merdu sekali, batinku. Kudengar suara di balik pintu toilet. Hah, Lula? Saat ia membuka pintu, ia melempar senyumnya padaku setelah selesai membersihkan toilet.

“Pagi, May.” Sapanya.

“Pagi. Suaramu merdu sekali, merinding aku mendengarnya.”

Lula tersipu, “hah, merinding? Memangnya aku hantu?! Bisa saja kamu. Suaraku tuh,  jelek. E iya, aku duluan, ya. Masih ada kerjaan yang lain.”

Aku menganggukkan kepala. Tapi memang benar suaranya indah, apalagi saat ia melakukan improvisasi.

****

“Lula ini, isi cepat!” aku memberikan secarik kertas kepadanya.

“Apa ini?” ia memperhatikan. “school stars… singing. Dancing. Acting. Maksudnya, May?”

“ya, kamu tinggal isi trus ikutan, deh.”

“kamu sakit, ya?” ia menunduk dan mengembalikan kertas itu kepadaku.

“aku sehat wal afiat, kok. Nyadar gak sih, suara kamu tuh, bagus Lula?! Sayang kalo cuma dipendem sendiri. Mumpung masih remaja.” Ujarku coba memberi semangat.

“tapi aku gak pantes, aku cuma anak …..”

Aku potong ucapannya, “nah karena itu, kamu harus buktiin. Bahwa seorang kamu juga bisa tampil dan bikin bangga ibu.”

5 menit kemudian, barulah Lula mengangguk dan mulai mengisi formulir. Sulit juga membujuknya. Aku ingin Lula tidak dipandang sebelah mata oleh anak-anak 'orang punya' itu. Aku pun melihat pancaran rasa ingin ikut kompetisi ini dari matanya.

“tapi di sini ditulis, agar berpenampilan menarik.”

“itu gampang. Aku punya koleksi majalah remaja di rumah.”

****

“ya sudah, kita deal. Kamu harus ikutan.” Ujarku.

“yakin gak ngerepotin?” kata Lula sambil menutup majalah-majalah remaja yang kubawa untuk masukan penampilannya.

“tentu tidak.” Aku pun berpisah dengannya.

“hei, tunggu!” katanya sembari menahan tanganku.

“kamu, Ra. Ada apa?”

“itu apa?” Tanya seorang teman Sahara menunjuk majalah yang kubawa.

“aku rasa kalian bisa lihat.” Jawabku mencoba pergi, namun mereka masih menahanku.

“kamu mau bantu anak babu itu di lomba?” Tanya Sahara.

“itu kompetisi umum, semua siswa sekolah Madani Unggul boleh mengikutinya.”

“jangan bantu dia, kalau kamu masih mau dibiayai di sekolah ini!” ancam Sahara sambil meremas lenganku.

“apa sih, kamu. Lepasin!”

“inget May, perjuangan bapak kamu yang kurir Koran itu. Apa dia gak sedih kalau tahu, anaknya yang berprestasi ini dikeluarin dari sekolah cuma gara-gara betingkah?!” ujar Sophie

****

Hari yang ditunggupun tiba. Aku sudah beres mendandani Lula. Yang walaupun volume badannya berlebih, tapi dengan trik fashion semua beres. Ia menggunakan dress maroon yang bermotif vertical garis-garis.

“kamu gak salah bawa ini?” tanyanya sembari mengangkat high heels yang kubawa.

“hahaha.. gak apa-apa, sekali-kali tampil beda.”

Kuhampiri kembali Lula setelah dari toilet, perutku sakit.

“bagaimana  udah siap, dong?”

“ya ..” jawab Lula setengah serak.

“loh Lul, suara kamu kenapa?”

“aku juga gak tahu.”

“tapi gak apa-apa. Pasti kamu bisa.” Aku menyemangati. Lula tersenyum. Tapi perasaanku jadi gak enak gini.

****

Acara pun dimulai. Aku duduk di bangku paling depan. Dan sekarang giliran Lula. Pertama-tama, peserta harus melakukan fashion show terlebih dulu. Lula membuat semuanya tercengang. Karena memang penampilannya beda dari biasanya. seperti tersihir, para hadirin itu terpesona dengan penampilan Lula. Ia berjalan sangat anggun. Kulirik dayang-dayang Sahara. Mereka menatapnya dengan pandangan seperti sedang menanti sesuatu.

Bukk!! Hak sepatu Lula copot. Namun ia langsung duduk di kursi untuk bernyanyi. Cerdas. Dengan senyum khasnya yang manis, ia mulai membuka mulut. Dimulai dengan menyanyikan bagian reff.

“……I wish nothing but…” tiba-tiba suara semakin serak dan menghilang.

Tampak dayang-dayang Sahara berseru “u… turun, turun lupan…!”

Sahara pun mengambil alih panggung. Kususul Lula yang menuju belakang panggung.

“Lul…”

“tuh kan, aku bilang juga apa? Aku ini gak pantes, dan sekarang semua ngetawain aku.” Isaknya dan meninggalkanku.

Ternyata sebelum naik panggung, Sahara dan para dayangnya itu, menghampiri Lula dengan waktu yang berbeda. Pertama-tama Sahara meminta maaf karena telah bertindak kasar ke Lula. Dan memberikan minuman ke Lula. Apa itu yang bikin suara Lula jadi kaya tadi? Lalu dayang-dayangnya, menghampiri dan menghina Lula.

“Lula, harusnya kamu nyadar. Kamu ini siapa! Liat coba, deh. Di kaca kamu itu gendut, jelek, gak popular, gak pantes ada di panggung. Lebih perfect juga Sahara kemana-mana. Kamu tahu kan, kamu bisa sekolah di sini karena siapa? Jadi kalo kamu tahu terimakasih, mending mundur, deh. Ketimbang nanti kamu malu-maluin.” 

Aku rasa itu yang bikin dia lebih down. Aku tahu ini semua dari peserta lain yang satu ruang dengan Lula.

****

Semenjak hari itu, Lula semakin menjadi bulan-bulanan Sahara dkk. Bahkan mereka gak segan untuk mengerjainya. Pernah ia dijebak sampai masuk ke gudang yang gelap, karena mereka tahu Lula takut gelap. 

Hingga di Sabtu pagi ceria itu…

“haduh, Lula. Gimana sih kamu, masa bawa beginian aja, jatuh?” ucap Liana, teman Sahara.

Aku tidak tahan melihat ini. “ya, bagaimana ia enggak jatuh, kalian menyuruhnya untuk membawa semua tas dan buku-buku kalian! Dia cuma sendiri,” belaku.

“heh loper koran, lebih baik kamu gak ikut campur. Kalo beasiswa kamu gak mau dicabut,” sahut Sophie.

Memang, setiap pagi sembari berangkat ke sekolah, aku antar koran-koran ke para pelanggan. Yang salah satunya adalah ayah Sophie-. Aku sudah muak dengan ancaman itu. Waktu itu pernah, kuhajar wajah Sahara, karena ia sudah keterlaluan menghinaku. Mana, katanya beasiswaku akan dicabut? Aku hanya mendapat hukuman mencukur rumput di halaman sekolah. Dan kali ini, maaf anda kurang beruntung.

“silahkan, cabut beasiswaku. Yang kalian lakukan ini keterlaluan sekali. Kalian sudah jadi pem-bully, dan kalian tahu akibat dari bully itu fatal. Kalian menghancurkan hidup orang lain. And that what makes you’re not cool. Nor your style is fashionable but your heart are rought.”

what you said?”

Aku menggenggam tangan Lula dan mengajaknya berdiri. Aku sadar apa yang kulakukan, membela hakku sebagai manusia.

“mulai hari ini, kamu Mayda Chintamy bukan lagi siswi SMA Madani Unggul.” Ujar Sahara. Tapi tak sedikitpun membuatku goyah. Kebetulan saat itu kami dikelilingi hampir siswa satu sekolah-maklum, bagi mereka melihat pertengkarah Sahara dengan murid adalah tontonan yang menarik-. 

Tak apa, aku terima. Akupun sudah tak tahan berada di sekolah ini. Melihat pembully kecil itu setiap hari. Dan saat kubalikan badan…

“tidak. Mayda tetap bersekolah di sini. Papa yang tentukan siapa yang berhak bersekolah di sini. Bukan kamu.” Ucap Drs. Ir. Hanafie, yang tak lain adalah ayah Sahara, pemilik yayasan, dan termasuk orang terkaya Indonesia.

“ayo kita pulang, dan bicarakan semua ini.” Lanjutnya.

“Meyda, Lula, maafkan Sahara, ya.”

Semenjak hari itu, kami tak pernah melihat Sahara lagi. Pak Hanafie sudah tahu tentang kelakuan buruk putrinya selama ini. Dan memutuskan mengirim Sahara ke Inggris menemani ibunya. 

Sahara adalah anak brokenhome. Ayah-ibunya berpisah sejak ia SD. Ibunya memilih pindah ke Inggris mengurus bisnis keluarga. Dan sang ayah sibuk bekerja dan mengajar, membuatnya merasa kurang perhatian dan kasih sayang ditambah ejekan teman-temannya. Kurasa itu alasan atas perbuatannya selama ini.

Selepas itu, Lula ditawari untuk membuat album oleh pak Hanafie, yang ternyata pemilik label rekaman ternama Indonesia, setelah mendengar suara merdunya. Dan aku, mulai suka menulis. Karena setiap pagi aku membaca koran, menumbuhkan minatku di bidang jurnalistik.

Komentar

Posting Komentar