Save Us, Please!


Save Us, please!


“assalamualaikum,” salamku.
“wa’alaikumussalam, Nona?” Heran Lisna setelah menjawab salam. 
“kamu kok gak bilang mau ke sini?” tanyanya sambil mengajakku masuk.

Namaku Nona. Aku seorang pelajar Sekolah Menengah Pertama di Jakarta. Untuk melepas penat setelah ujian kelulusan kemarin, aku meminta ayah berlibur ke Kalimantan. Menemui keluarga paman Ali, terutama sepupu kesayanganku ini, Lisna. Sengaja aku tak memberitahu lebih dulu, biar surprise.

Segarnya udara pagi Kalimantan yang masih bersih dari polusi begitu terasa saat aku membuka jendela kamar. Semua rasa capek di perjalanan kemarin, lenyap semua.
“Nona, sudah bangun? Ayo, sarapan bersama!” Terdengar suara bibi Hera di ambang pintu. 
“ya, bi. Aku mandi dulu.” Kubiarkan jendela tetap terbuka dan melangkah ke kamar mandi.

“Lisna, kita ke tempat biasa, yuk!” pintaku setelah sarapan pagi. 
Lisna diam sesaat, “yakin kamu mau ke sana?”
Aku pun terdiam sesaat, kenapa ia bertanya seperti itu? Biasanya tanpa kuminta ia pasti mengajakku ke sana.
“ya, tentu.” jawabku.
“ya, sudah. Tapi sore saja,ya.”      
“memangnya kenapa?” 
“aku dan Anja akan membantu ayah membuat perahu di pantai dan berenang,” jelasnya. Aku menganggukkan kepala dan Lisna pun berlalu.

Lisna tahu kalau aku trauma akan pantai, karena pernah terbawa ombak sampai ke tengah. Itu sungguh menyeramkan. Jadi ia tidak mengajakku. Yang membuatku bertanya adalah kenapa sekarang ia malah semangat ke pantai,--setahuku ia paling malas kalau diminta bantuan membuat perahu--  ketimbang tempat favorit kami.

Sementara Lisna sibuk dengan paman Ali dan Anja, aku memilih untuk berkeliling kampung. Aku berjalan sendiri ditemani sinar mentari pagi yang indah. Langkah kaki membawaku ke sebuah sungai di kampung ini. Lalu aku duduk di salah satu batu besar di tepinya. Ku perhatikan sekitar, udaranya masih segar, dan airnya pun masih deras. Tapi hei, apa itu? Aku melihat beberapa bungkus plastik ikut mengalir dan warna airnya sudah tak sejernih dulu. Kuarahkan pandangan ke arah yang lain, kulihat ada sebuah kotak besar dengan kaki di tepi sungai sana, sepertinya di dalam sana ada orang. Rupanya itu yang menyebabkan bau yang tidak enak di hidung dari tadi! Aku memutuskan untuk menunggu lisna di rumah.

****
“bagaimana, siap?” suara Lisna membuyarkan lamunanku.
“ya, aku sudah sholat ashar. Kamu?”
“sudah, yuk kita jalan”         

Perjalan menuju tempat favorit kami tidak memerlukan waktu lama, karena tempatnya tidak begitu jauh. Hanya memerlukan waktu 10 menit berjalan kaki. Selama perjalanan kami saling bertukar kisah, karena sudah tidak bertatap muka 3 tahun ini.
“apa ini?” tanyaku sesampainya di tempat tujuan
“tempat favorit kita” jawab Lisna sendu.
“tapi, ini hanya pohon-pohon gundul dan … di mana rumah pohon, ayunan dan ring basket kita?” aku meminta penjelasan.
“sejak 3 tahun lalu, banyak sekali penggundulan hutan liar. Mereka semua, orang-orang yang tidak memiliki hati nurani itu benar-benar tega menebang pohon-pohon di bukit ini untuk kepentingan mereka.”
“maksudnya?”
“tentu kamu sering mendengar berita pengundulan liar di berita televisi, bukan? Itulah yang terjadi di sini.”                                                                          

Hatiku sungguh terenyu mendengarnya. Tempat ini dulu tempat aku, Lisna dan teman-teman lain bermain bersama, bermimpi menjadi polisi hutan, menjaga dan merawat semua yang tumbuh di bukit ini. Kami juga menanam beberapa tumbuhan di belakang rumah pohon kami. Yang kini hanya tersisa dua.
“apa tidak ada yang mencegah?”
“warga sudah tidak peduli, dan polisi hutannya sendiri lebih memilih dunia ketimbang akhirat.”
“suap?” Lisna mengangguk.

3 tahun ternyata bukan waktu yang singkat. Buktinya Kalimantan yang dulu kukenal rimbun, sekarang hanya beberapa yang tersisa. Aku kembali ke rumah dengan hati sedih dan prihatin.

“kalian dari mana? Sudah adzan maghrib. Sholat dulu, terus makan ya.” Seru bibi Hera perhatian. Itu yang menambah aku kerasan di sini. Setelah sholat, aku berdoa agar Allah memberi jalan kami untuk memperbaiki semua ini.

****

“tolong jangan kau biarkan kawan-kawanku merasakan seperti apa yang kurasakan. Sungguh kami senang menjadi penghasil oksigen bagi manusia. Menjaga keseimbangan alam, mencakar bumi dengan akar-akar kami agar tanah tidak longsor. Meminum segarnya air yang turun dari langit pemberian Sang Maha Kuasa. Dan dengan bantuan sinar mentari, kami hasilkan milyaran klorofil dan milyaran ton oksigen bagi mahkluk bumi.”
Ia berhenti sejenak dan menunduk. Lalu menatap tajam ke arahku..
“kami telah memberikan kehidupan kepada kalian! Tapi, kenapa kalian menghancurkan kami?! Apa ini balasan atas pekerjaan kami, apa dosa kami??” suaranya lantang.
“kalian memusnahkan kami dengan cara yang begitu tidak manusiawi, padahal kalian itu manusia. Suara mesin-mesin gergaji itu sungguh suara paling mengerikan yang pernah kudengar. Lalu kau bawa kami ke dalam mesin-mesin besar yang sangat berisik itu. Dan membuang sisa-sisa daripada kami ke sungai dengan sembarangan. Dimana hati nurani kalian?!”

Aku menatapnya takut-takut berani. Lalu di belakang pohon menyeramkan itu, muncul sepohon kecil yang begitu kukenal. Itu Cino, pohon yang kutanam bersama Lisna 4 tahun lalu.
“biar aku dan para pohon yang telah gugur yang merasakan semua ini. Jangan saudara-saudaraku yang masih kokoh menjadi yang selanjutnya. Aku percaya kau dan para manusia yang masih memiliki hati dan naluri manusia, pasti bisa memperbaiki ini semua.” Ia mengangguk.
“sebelum semuanya terlambat.”
Aku pun terbangun. Apa itu tadi? Sudah tiga hari ini aku memimpikan hal yang sama dengan kata-kata yang sama.

Jam dinding menunjukkan masih jam 2 malam. Setelah sholat 2 rakaat, aku mencoba melihat suasana sekitar. Kulihat di kejauhan ada sekelompok orang yang membawa alat-alat besar lalu mengendarai mobil dan 5 truk besar mengikut di belakangnya. Sepertinya mereka akan pergi ke arah hutan. Hutan dekat tempat favoritku dan Lisna.

“nak, sedang apa disini?” suara ayah memecah keheningan subuh.
Akhirnya kuceritakan pemandangan yang baru saja kulihat dan dugaanku serta mimpiku 3 hari berturut-turut.
“kau persiapkan diri untuk nanti siang.”
“memang ada acara apa, yah?”
“kita akan perbaiki semuanya. Sekarang kita sholat subuh dulu, sudah adzan.” Ayah mengajakku sholat berjamaah.

****

“ayo, kakak harus bayar ke Anja!” pinta Anja sambil menengadahkan tangannya.
“kenapa aku harus membayar?” Lisna protes.
“lihat dong, kakakku yang cantik. Kakak berhenti di tanah milikku, jadi kakak harus membayar uang sewa. Ayo, cepat.”
“tidak, aku tidak mau.” Jawab Lisna sambil menjulurkan lidahnya dan berlari.
“ii… kakak harus bayar.” Anja pun mengejar Lisna.
Hahaha… kami sedang bermain monopoli. Selalu begitu, Lisna paling tidak suka membayar uang sewa, sejak dulu. Aku juga tidak tahu kenapa, entah sengaja atau tidak. Lalu perhatianku teralihkan kepada ayah yang sedang berbincang dengan paman Ali, yang sepertinya serius sekali.

Jarum jam sekarang berada di angka 10 tepat. Kulihat ayah dan paman telah berpakaian rapih. Dengan menjinjing tas laptop, ayah menghampiri kami yang tengah duduk di teras rumah.
“Lisna, Nona, Anja, ayo ikut kami!”
“memang kita akan pergi kemana, paman?” Tanya Anja polos kepada ayah.
“kita akan pergi ke balai desa. Selanjutnya? kalian juga nanti akan tahu.”

Kulihat balai desa diramaikan oleh penduduk. Ada apa, ya? Akan ada pembagian bahan sembako atau akan menghakimi orang?

Ayah dan paman Ali menaiki panggung, lalu berjabat tangan dengan kepala desa. Aku, Lisna, dan Anja duduk di bangku paling depan. Pak kepala desa membuka forum dengan sambutannya. Terlihat paman Ali memasang layar proyektor. Setelah itu ayah mulai mengopesikan laptopnya dan mulai berbicara.
Aku tahu maksud ayah mengajak kami kesini. Ayah dan paman Ali serta kepala desa ingin memberikan penyuluhan untuk menumbuhkan kesadaran penduduk akan pentingnya menjaga lingkungan.

“ …… inilah akibat-akibat bila hutan gundul dan air sungai tercemar.” Seru ayah sambil menunjukkan gambar-gambar di layar proyektor. Di sana ada tanah longsor, banjir, angin-angin kencang dan gambar-gambar bencana mengerikan lainnya.

“jadi saudara-saudara, apa kita ingin melihat wujud nyata dari gambar-gambar ini, esok?” kali ini paman Ali yang berbicara.
“ya, kita semua tidak ingin. Oleh karena itu, sekaranglah saatnya untuk merubah semua ini. Belum terlambat. Mari kita bersama-sama ke sana. Make a better place, make a better world. Kita ciptakan tempat tinggal yang lebih nyaman. Dunia yang lebih baik.

Rupanya ayah dan paman Ali telah mengetahui dan merencanakan ini sejak lama. Kami pun bergegas pergi ke hutan. Kulihat di luar ada 5 mobil polisi hutan. Kurasa polisi kali ini, benar-benar polisi. Perjalanan tak terasa karena kami menggunakan mobil. Ketika sampai, aku kaget, benar-benar kaget. Semua yang dikatakan pohon menyeramkan itu benar adanya. Mereka menggunakan mesin-mesin menyeramkan tanpa tanngungjawab. Dan para pembalak itupun kaget, tidak mengira kami semua akan datang.

Mereka semua ditangkap, dan beberapa hari kemudian disidang. Kami semua menyaksikannya. Mereka dikenakan hukum 16 tahun penjara dan denda sebesar 200 juta. Perusahaan yang mengambil bahan baku dari hutan itu ditutup dan disita oleh Negara.

**** 

Esok harinya, aku senang sekali. Kenapa? Karena kami semua melakukan reboisasi. Ayah mengeluarkan bibit tanaman yang kami bawa dari Jakarta. Dibantu oleh masyarakat semuanya menjadi mudah dan menyenangkan.

Kejadian ini mengandung banyak hikmah. Menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga hutan, penerapan tebang pilih, reboisasi dan tentunya kebersamaan. 
Tak terasa ini malam terakhirku di Kalimantan, Lisna mengajakku membuat ikan bakar di belakang rumah. Karena Lisna yang jago soal bakar-bakar ikan, ya aku menunggu saja di bawah langit malam bertabur bintang, sambil berbaring di atas tikar dan aku pun tertidur.

“terima kasih, ya sobat. Berkat kau dan para penduduk, sekarang kami bisa lestari lagi. Lanjutkan! Jangan hanya sampai di sini. Untuk kehidupan anak cucu manusia nanti. Jangan hanya karena ulah nenek moyangnya, mereka tidak bisa melihat indahnya dunia ciptaan Tuhan ini.” Ujar Cino sembari melambaikan tangannya.

“Na, ini ikannya. Kok tidur betulan, sih?”
kudengar suara Lisna. “he.. he.. iya, maaf ya. Wah, ikannya enak sekali.”
“bisa aja, kamu. Makan juga belum.” Lisna menyikutku. Hahaha

Komentar